Utopia Ekolabel Dalam Mengurangi Deforestasi

Yoga Aprillianno
5 min readJul 9, 2021

--

Photo by Maksim Shutov on Unsplash

Pangsa pasar Crude Palm Oil (CPO) Indonesia bertambah saat masyarakat Swiss melakukan referendum mengenai perdagangan bebas komoditas ini. 51,6 persen masyarakat Swiss sepakat untuk memberikan lampu hijau pada Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (CEPA) antara Indonesia dengan The European Free Trade Area (EFTA)–sebuah blok dagang beranggotakan Islandia, Liechtenstein, Norwegia, dan Swiss. Pasar baru CPO ini tercipta karena adanya kepercayaan masyarakat Swiss terhadap praktik pertanian sawit yang berkelanjutan di Indonesia.

Kepercayaan ini menguat lewat pembuktian melalui sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) maupun Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Lembaga nirlaba yang memiliki tanggung jawab untuk memberikan sertifikasi ekolabel pada perkebunan sawit.

Di samping pencapaian tersebut, ada hal yang mengusik kekhawatiran penulis. Apakah dengan meningkatnya permintaan baik dari domestik maupun luar negeri, Indonesia mampu memenuhinya dengan tetap menerapkan prinsip keberlanjutan? Atau malah sebaliknya, akan semakin mendorong untuk membuka lahan baru? Jika di kemudian hari terjadi pembukaan lahan baru yang masif dan menyebabkan berkurangnya tutupan lahan, maka ekolabel (yang dalam konteks tulisan ini berbentuk RSPO maupun ISPO) hanya menjadi utopia semata untuk menekan
angka deforestasi di Indonesia.

Sepak Terjang Sawit Indonesia
Kemenangan Indonesia dalam menembus pasar Swiss ini dapat menjadi pintu sekaligus hub untuk memasuki pasar eropa. Terbukanya pasar tersebut menjadi angin segar tersendiri bagi para pengusaha sawit Indonesia yang selama ini terhambat oleh kampanye penolakan komoditas
sawit yang dilakukan oleh Uni Eropa sejak tahun 2015 silam. Meski ekspor sawit dan produk turunannya ke Swiss relatif masih kecil jika dibandingkan dengan India, China dan Pakistan (Trademap, 2020), akan tetapi seiring dengan perluasan pasar Swiss dan Uni Eropa, hal ini akan
turut mendongkrak ekspor dan produksi sawit Indonesia.

Dari tahun ke tahun, performa pasar minyak sawit internasional menunjukkan tren peningkatan, baik dari sisi produksi maupun konsumsi. Pada tahun 2019, produksi minyak sawit dunia mencapai 75,81 juta ton dan ekspor sebesar 54,57 juta ton, di mana Indonesia dan Malaysia menguasai 83,83% pangsa total ekspor tersebut (Amalia dkk, 2020). Dilansir dari laman
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), total ekspor sawit dan turunannya dari Indonesia juga terus meningkat sejak tahun 2015 hingga tahun 2019. Pada tahun 2015 misalnya, total ekspor sawit Indonesia mencapai 27,4 juta ton, meningkat menjadi 37,4 juta ton pada tahun
2019.

Selain angka ekspor yang naik, tingkat konsumsi produk sawit dan turunannya di dalam negeri pun turut mengalami kenaikan. Pada tahun 2015, tingkat konsumsinya masih berada di kisaran 8,3 juta ton. Namun, pada tahun 2019 angkanya naik hampir dua kali lipat menjadi 16,7 juta ton
(GAPKI,2020). Lonjakan konsumsi dalam negeri ini tidak terlepas dari diberlakukannya kebijakan Program Mandatori Biodiesel 20% dan 30% yang dicanangkan oleh pemerintah.

Dengan semakin meningkatnya permintaan baik dari dalam maupun luar negeri, angka produksi juga perlu digenjot. Meski begitu, mengejar target produksi tanpa perluasan lahan sepertinya tidak akan cukup memenuhi permintaan. Pasalnya, tingkat produktivitas sawit Indonesia masih
tergolong rendah, hanya 3,8 juta ton per hektar, di bawah angka potensinya yang mencapai 7,5 ton per hektar. Dengan adanya peningkatan permintaan tanpa dibarengi dengan upaya peningkatan kualitas intensifikasi produksi, hal ini berpotensi mendorong pembukaan lahan baru dan deforestasi. Upaya ekspansi bahkan sudah terlihat dari apa yang terjadi di Papua, di mana angka deforestasinya kini melebihi angka deforestasi kawasan barat Indonesia yang selama ini merupakan wilayah dengan tingkat deforestasi tertinggi.

Sebetulnya, tingkat deforestasi di Indonesia dari tahun ke tahun tengah menunjukkan tren penurunan. Pada tahun 2014–2015, deforestasi netto mencapai 1,09 juta hektar, turun menjadi 0,12 juta hektar pada tahun 2019–2020. Namun, meski mengalami penurunan, bukan berarti bahwa tingkat deforestasi di Indonesia membaik. Indonesia masih termasuk ke dalam sepuluh negara dengan laju deforestasi tertinggi di dunia (KLHK, 2021).

Upaya Pemerintah
Menindaklanjuti hal tersebut, Pemerintah Indonesia mencanangkan beberapa kebijakan terkait yang tertuang dalam RPJMN 2020–2024. Pertama, pengurangan laju deforestasi sebesar 310 hektar per tahun. Kedua, reforestasi seluas 1,97 juta hektar, termasuk luas ekosistem gambut
yang terkoordinasi dan difasilitasi restorasi pada tujuh provinsi rawan kebakaran dengan target 300.000 hektar per tahun.

Sementara itu, Brazil sebagai negara dengan laju deforestasi tertinggi di dunia memiliki kebijakan yang lebih komprehensif dibandingkan Indonesia. Adapun kebijakan tersebut terdiri dari implementasi kebijakan publik lingkungan yang efektif dan berkelanjutan, mendukung
pemanfaatan hutan dan praktik pertanian berkelanjutan, implementasi pembatasan pasar atas produk yang memicu deforestasi baru, serta melibatkan konsumen, baik lokal maupun global dan
investor nasional dan internasional dalam upaya mengakhiri praktik pembukaan hutan (ZDWG, 2018).

Berdasarkan kebijakan ini, terlihat bahwa Brazil lebih menyadari adanya keterkaitan antara permintaan pasar atas komoditas tertentu yang dapat memicu deforestasi dengan berkurangnya tutupan hutan di wilayahnya. Lain halnya dengan Indonesia, tampaknya kesadaran pemerintah
mengenai hal tersebut masih terbatas dan terus membuka peluang ekspansi lahan akibat dari peningkatan permintaan komoditas dengan ekolabel. Hal ini didukung oleh kajian Muslim dan Indriani (2014) yang menyebutkan bahwa meningkatnya kepercayaan pada produk ramah
lingkungan dan pengetahuan pada ekolabel dari sisi konsumen, memiliki hubungan yang signifikan pada intensi pembelian. Sehingga dengan berkembangnya kesadaran konsumen pada keberadaan ekolabel memungkinkan terjadinya peningkatan produksi komoditas yang signifikan.

Pada ranah teori, ekolabel sudah diatur untuk menjaga keberadaan manusia dan seisinya melalui skema High Conservation Value (HCV) dan pendekatan Free, Prior, Informed, and Consent (FPIC). Namun, faktanya luasan hutan primer terus berkurang hingga 9,48 juta hektar sejak tahun 2002-2019 (Global Forest Watch, 2020). Sementara itu, hingga tahun 2019, total luasan perkebunan terus meningkat hingga mencapai 18,01 juta hektar (BPS, 2020).

Dapat disimpulkan bahwa semakin populernya komoditas dengan ekolabel, khususnya komoditas yang berasal dari sawit, akan semakin meningkatkan permintaan dan mendorong perluasan lahan baru untuk meningkatkan produksi. Dengan kebijakan dari pemerintah Indonesia yang belum sepenuhnya mengarusutamakan perlindungan hutan dan penegakan hukum, dapat menjadi ancaman deforestasi di Indonesia. Pada akhirnya, ekolabel ini hanya menjadi utopia, terutama dalam kaitannya perlindungan tutupan hutan di Indonesia.

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik (2018): Jumlah Produk Ramah Lingkungan yang Teregister (Produk), 2016–2018, quoted 14 April 2021, from internet: https://www.bps.go.id/indicator/152/1746/1/jumlah-produk-ramah-lingkungan-yang-teregister.html.

Badan Pusat Statistik (2020): Luas Penutupan Lahan Indonesia Di Dalam Dan Di Luar Kawasan Hutan Tahun 2014–2019 Menurut Kelas (Ribu Ha), quoted 14 April 2021, from internet: https://www.bps.go.id/statictable/2020/02/17/2084/luas-penutupan-lahan-indonesia-di-dalam-dan-di-luar-kawasan-hutan-tahun-2014-2019-menurut-kelas-ribu-ha-.html.

Global Forest Watch (2020): Indonesia Deforestation Rates & Statistics, quoted 15 April 2021, from internet: https://www.globalforestwatch.org/dashboards/country/IDN/?category=summary&location=WyJjb3VudHJ5IiwiSUROIl0%3D&map=eyJjZW50ZXIiOnsibGF0IjotMi41Nzg0NTMwNjA1NjAyNjIyLCJsbmciOjExOC4wMTUxNTU3ODk5ODYzN30sInpvb20iOjIuNTc5MDUwMTIxNjcyNjY0LCJjYW5Cb3VuZCI6ZmFsc2Us.

Muslim, E., dan Indriani, D. R. (2014): Analisis Pengaruh Eco-Label terhadap Kesadaran Konsumen untuk Membeli Green Product, Jurnal Manajemen Teknologi, 13(1), 86–100. https://doi.org/10.12695/jmt.2014.13.1.6.

ZDWG (2018): Brazil has the tools to end Amazon deforestation now: report, quoted 20 April 2021, from internet: https://news.mongabay.com/2018/05/brazil-has-the-tools-to-end-amazon-deforestation-now-report/.

KLHK (2021): Deforestasi Indonesia Turun, Terendah Dalam Sejarah, quoted 10 April 2021, from internet: https://www.menlhk.go.id/site/single_post/3640/deforestasi-indonesia-turun-terendah-dalam-sejarah.

GAPKI. (2020): Kinerja Industri Sawit Indonesia 2019. Quoted 15 April 2021, from internet: https://gapki.id/kinerja-industri-sawit-indonesia.

Amalia, dkk. (2020): Analisis Kinerja dan Prospek Komoditas Kelapa Sawit. Deplantation Volume 1: 01.

Trademap. Quoted 14 April 2021, from internet: https://www.trademap.org/Country_SelProductCountry_TS.aspx?nvpm=1%7c360%7c%7c%7c%7c151110%7c%7c%7c6%7c1%7c1%7c2%7c2%7c1%7c2%7c2%7c1%7c1.

PWYP (2020): Pengurangan Deforestasi dan Degradasi Hutan dalam Kebijakan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020–2024. Quoted 13 April 2021, from internet: https://pwypindonesia.org/id/pengurangan-deforestasi-dan-degradasi-hutan-dalam-kebijakan-rencana-pembangunan-jangka-menengah-rpjmn-2020-2024/.

PPID KLHK (2020): Hutan Dan Deforestasi Indonesia Tahun 2019. Quoted 20 April 2021, from internet: http://ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/browse/2435.

--

--

Yoga Aprillianno
Yoga Aprillianno

Written by Yoga Aprillianno

Halo, ini adalah jurnal pribadi yang akan saya pakai untuk melihat perkembangan kemampuan menulis saya.

No responses yet