Sebuah Mata Rantai yang Hilang Dari Narasi Perlawanan Food Estate
Food Estate tidak hanya tentang kegagalan, tetapi juga tentang kerusakan. Terlebih jika berbicara tentang ekosistem gambut yang terus terkikis dan terbakar. Meski begitu, intensifikasi maupun ekstensifikasi Food Estate masih saja dijalankan oleh pemerintah. Pengaturan agenda melalui media massa juga terus digulirkan untuk menutupi agenda lain yang tidak tercium jelas oleh publik seperti korupsi, penegakan hukum yang tidak tegas, hingga pemenuhan janji politik pejabat pemerintahan.
Perang narasi dalam pembangunan Food Estate pun seolah tidak ada habisnya. Di satu sisi, pemerintah terus berkreasi untuk membangun kepercayaan publik tentang efektivitas pembangunan Food Estate yang diklaim dilakukan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan pangan nasional. Sementara itu, publik yang merasakan langsung bagaimana program ini tidak berjalan sesuai dengan impian pemerintah, merespons menggunakan argumen yang berseberangan dengan harapan Food Estate tidak dilanjutkan.
Jika melihat ke belakang, salah satu dalih awal mula dicetuskannya program Food Estate tahun 1995 adalah kebutuhan pangan global yang meningkat, sementara cadangan pangan nasional yang dapat disediakan oleh pemerintah tidak sebanding dengan permintaannya[1]. Sayangnya, krisis pangan yang terjadi malah harus dibenturkan dengan kebijakan beras-isasi yang gencar dilakukan oleh pemerintah dari periode tersebut hingga sekarang. Padahal, Pulau Jawa yang sejak dulu menjadi tulang punggung produksi beras nasional semakin tidak memiliki ruang gerak untuk berproduksi karena tidak terkontrolnya alih fungsi lahan pertanian subsisten menjadi lahan industri dan permukiman.
Faktanya, tidak semua lahan di Indonesia cocok untuk dijadikan sawah. Tanah di Jawa menjadi lebih produktif untuk dijadikan sebagai lahan pertanian karena adanya dukungan dari 34 gunung berapi yang setiap erupsinya selalu melontarkan unsur hara yang dibutuhkan tanaman seperti Kalsium (Ca) dan Magnesium (Mg)[2]. Sementara, karakteristik tanah di Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara, ataupun Papua berbeda dengan Jawa. Dibandingkan tanah lempung seperti yang ada di Jawa, tanah seperti gambut ataupun podsolik merah kuning lebih banyak ditemui di Sumatera, Kalimantan, ataupun Papua[3]. Sebaran dan konsentrasi penduduk beserta dengan kebudayaan yang ada di masing-masing daerah pun juga bervariatif. Dengan beragamnya kondisi geografi maupun sosial-ekonomi masyarakat di Indonesia, pola pengelolaan lahan pun sudah seharusnya mengikuti paradigma yang ada di lapangan.
Sayangnya, lahan yang dianggap terbengkalai di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua pun menjadi sasaran obsesi pemerintah dalam membuat sawah seluas-luasnya. Provinsi Kalimantan Tengah menjadi kelinci percobaan obsesi pemerintah saat Keppres №82 Tahun 1995 diterbitkan untuk membuat Proyek Lahan Gambut (PLG). 870 ribu hektare lahan yang terlanjur dibuka (dari total 1,46 juta hektare) pun menjadi tidak produktif hingga sekarang[4]. Selang 15 tahun kemudian, pada tahun 2010 cetak sawah seluas 1,2 juta hektar dilakukan di Merauke melalui program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Hingga yang terbaru, Provinsi Kalimantan Tengah kembali menjadi lokasi untuk mengawali Food Estate edisi ketiga dengan tajuk Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPP) pada tahun 2020.
Bercermin dari berbagai literatur maupun dialog, hasil dari Food Estate dengan penamaan apapun nyatanya selalu mengecewakan. Sayangnya, pemerintah tetap melanjutkan pertanian skala besar ini dan membungkusnya menjadi cerita anekdot yang terlihat meyakinkan. Organisasi publik bersama dengan masyarakat akar rumput pun bergerak secara kolektif untuk merespon agenda setting yang dibuat oleh pemerintah. Pergerakan ini tidak hanya sekali atau dua kali saja diselenggarakan dalam upaya untuk menyatukan narasi advokasi tandingan. Sayangnya, forum yang dilakukan selama ini seolah masih menjadi arena milik organisasi publik yang berasal dari lokasi pengimplementasian Food Estate saja. Seperti contohnya Sumatera, Kalimantan, Papua, dan yang terbaru, organisasi publik dari Nusa Tenggara yang juga mulai aktif untuk bergabung.
Tema yang jamak dibahas dalam arena diskusi pun masih berputar pada pengungkapan dampak destruktif Food Estate dari masing-masing wilayah kerja perwakilan daerah. Mulai dari sudut pandang kerusakan ekologis, hak akses pangan masyarakat lokal yang diambil, maladministrasi yang terjadi dalam pelaksanaan program, dan lain sebagainya. Hasil dari setiap forum pun seolah masih terbatas pada pencarian strategi untuk bertahan dari gempuran cerita yang dilemparkan pemerintah tanpa menyasar akar masalah yang muncul sejak puluhan tahun lalu. Padahal, jika menengok ke aspek historis, sumber dari ruwetnya program Food Estate adalah ketiadaan ruang untuk memperluas tempat produksi bahan pangan di Jawa.
Berkaca dari situasi yang ada, terdapat missing link dalam pembangunan narasi penolakan program Food Estate. Selain rekonsiliasi yang perlu digencarkan untuk menyeragamkan suara organisasi publik yang berada di area terdampak Food Estate secara langsung, perlu juga adanya integrasi narasi yang dibangun bersama dengan organisasi publik lain untuk menekan angka alih fungsi lahan pertanian subsisten di Pulau Jawa. Hal ini menjadi penting untuk membuat upaya penolakan Food Estate dapat semakin solid. Perlu adanya dorongan untuk membuat kebutuhan pangan di Pulau Jawa dapat dipenuhi secara subsisten, sementara pertanian di luar Pulau Jawa dengan kearifan lokal dapat terus dijaga.
Perjalanan memang masih sangat panjang untuk bisa menghentikan program yang kental dengan konflik kepentingan ini. Bertambahnya kepala untuk melakukan perlawanan juga akan mempersulit koordinasi. Meski begitu bukan hal yang mustahil untuk mengembalikan hak akses pangan kepada masyarakat lokal jika narasi untuk menghadang program Food Estate dapat dielaborasi dengan kuat.
[1] Opini: Tantangan Program Food Estate, dalam Menjaga Ketahanan Pangan — kab.faperta.ugm.ac.id
[2] https://theconversation.com/mengapa-jawa-lebih-subur-dibanding-sumatra-petunjuknya-ada-di-abu-gunung-api-101809
[3] Dihimpun dari berbabagi sumber
[4] “Food Estate” dan Kilas Balik Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar Halaman all — Kompas.com